BIAK, HARIAN DISWAY – Ada sejarah memilukan di BIAK. Sebuah perang pernah terjadi di sana. Adakah peluang bagi BIAK untuk menghidupkan kembali dan mengembangkannya sebagai wisata perang?
Distrik di Kabupaten Biak Numfor di Provinsi Papua ini akrab dengan dunia internasional karena Perang Biak yang bersejarah yang pecah dari 27 Mei hingga 17 Agustus 1944. Perang itu merupakan bagian dari Perang Dunia II antara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) dan Tentara Jepang.
Serangan AS ke Biak merupakan bagian dari komando Jenderal AS MacArthur di Pasifik Barat Daya untuk membersihkan Papua sebagai persiapan invasi AS ke Filipina.
Ketika 12 ribu tentara Angkatan Darat AS mendarat di Biak pada 27 Mei 1944, Biak telah diduduki oleh 11.800 tentara Jepang yang memanfaatkan gua-gua di pulau tersebut sebagai sistem pertahanan alam.
Sistem pertahanan yang menggunakan beberapa gua di Biak sebagai tempat berlindung dan mengintai dinilai sangat cemerlang untuk menyamarkan keberadaan pasukan Jepang (Johnson, 2017).
Pasukan AS perlu waktu 80 hari untuk menaklukkan pasukan Jepang dalam pertempuran yang melelahkan. AS menang perang dengan korban tewas 500 orang, 2.400 luka-luka dan 1.000 terserang penyakit.
Jepang kehilangan 6.100 nyawa, 450 ditangkap dan ratusan lain tidak jelas rimbanya (Johnson, 2017). Sisa-sisa perang dan jasad tentara yang gugur tersebar dan menjadi saksi bisu di Zona Perang Biak hingga beberapa tahun ke depan.
Gua Binsari atau dikenal dengan Gua Jepang merupakan gua terbesar tempat Jepang bertahan dari gempuran AS. Di dalam gua itulah pasukan AS menjatuhkan 367 kilogram peledak dahsyat jenis TNT (trinitrotoluene) hingga menyebabkan banyak korban tentara di pihak Jepang.
Zona Perang Biak tak tersentuh selama beberapa tahun setelah perang usai. Setelah penduduk setempat melakukan eksplorasi pascaperang pada gua tersebut, sisa-sisa Gua Binsari secara resmi ditemukan oleh pemerintah setempat pada 1980.
Penggalian di Zona Perang Biak ini mengungkap ribuan tulang manusia dan berbagai sisa-sisa peralatan perang dari dua kubu. Ada amunisi, pistol, senapan laras panjang, granat, helm, tank, pesawat terbang, jeep, dinamo portable, peralatan komunikasi dan penerangan.
Juga alat-alat pribadi tentara seperti tempat tempat minum, ketel, dog-tag (tanda pengenal terbuat dari lempengan logam), seragam. Sisa-sisa perang dan tulang belulang yang kini dikumpulkan di rumah penduduk lokal menjadi objek yang menarik sekaligus memilukan.
Zona Perang
Kunjungan ke zona perang termasuk kegiatan wisata. Urry & Larson (2011) mendefinisikan pariwisata sebagai “kegiatan yang meninggalkan” sementara baik secara fisik maupun metaforis, lingkungan, dan praktik sehari-hari menuju tempat baru untuk mendapatkan pengalaman baru.
Kunjungan wisatawan ke zona perang dapat dimaklumi; kajian-kajian pariwisata menyebutnya sebagai post-war tourism (pariwisata pascaperang). Wise (2012) menuturkan bahwa bagi wisatawan, destinasi wisata pascaperang berfungsi sebagai lanskap kenangan dan pendidikan tentang konflik antarmanusia.
Kata Wise, lanskap perang memungkinkan wisatawan berimajinasi tentang masa lalu di tempat aslinya. Pariwisata perang juga disebut dark tourism (pariwisata gelap).
Menurut Foote (2003), pariwisata gelap menampilkan ingatan akan peristiwa tragis dan memilukan secara langsung. Sharpley & Stone (2009) menambahkan bahwa dark tourism adalah perjalanan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan kematian, bencana, dan kehancuran.
Perjalanan seperti ini termasuk menyambangi berbagai tempat seperti koleksi atau museum yang bertema kematian dan penderitaan, atraksi terkait kematian, pembunuhan dan kekacauan, dan area yang memperingati kematian, ketakutan, atau kengerian.
Kunjungan ke Biak pasca-perang dimulai pada ’1950an oleh para peziarah keluarga korban tentara Jepang. Mereka tak hanya berziarah, tapi juga mendirikan monumen perang, mengumpulkan dan mengkremasi belulang, dan merepatriasi abu tulang belulang ke Jepang.
Tak ada informasi tentang keluarga tentara Amerika melakukan hal yang sama. Kunjungan peziarah Jepang kemudian mulai diikuti oleh kunjungan-kunjungan lain yang juga termasuk wisatawan non-anggota keluarga.
Untuk mendukung kunjungan tersebut, penerbangan internasional diperlukan. Maskapai penerbangan KLM Belanda menjadikan Biak sebagai persinggahan mereka untuk rute Amsterdam-Bangkok-Manila-Biak-Sydney pada 1955.
Rute KLM lainnya adalah Amsterdam-Tokyo-Biak. Kemudian Garuda Indonesia rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Sebuah hotel bintang empat dibangun pula di Biak.
Itu menunjukkan bahwa ada suatu periode yang menunjukkan bahwa pariwisata Biak bisa demikian menjanjikan. Sayang geliat wisata ke Biak kemudian meredup. Penerbangan internasional yang singgah di Biak dan kehadiran wisatawan berbondong-bondong tinggal cerita.
Belakangan ini, pada 2017 misalnya, Biak hanya mencatat 56.243 pengunjung. Hanya 968 di antaranya wisatawan mancanegara (Kebijakan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, n.d). (*)
Source : https://harian.disway.id/read/795082/pengembangan-wisata-perang-biak-1-lanskap-kenangan-pascaperang
1 Comment
Numquam modi ut nobis ut enim Quia quasi eos laboriosam culpa rerum Ut tempora qui dolores Id vitae architecto sint. At soluta nulla fuga provident. ullam perspiciatis ipsum nihil in reiciendis. Sit voluptatem enim non id consequatur veritatis. Molestias fugiat quas voluptatem. Impedit eum ut laboriosam. Aperiam molestias quis ratione rerum voluptatem Cupiditate animi doloribus corrupti voluptatibus quidem optio. Ut fugiat aut sequi.