BIAK, HARIAN DISWAY – Ada sejarah memilukan di BIAK. Sebuah perang pernah terjadi di sana. Adakah peluang bagi BIAK untuk menghidupkan kembali dan mengembangkannya sebagai wisata perang? Distrik di Kabupaten Biak Numfor di Provinsi Papua ini akrab dengan dunia internasional karena Perang Biak yang bersejarah yang pecah dari 27 Mei hingga 17 Agustus 1944. Perang itu merupakan bagian dari Perang Dunia II antara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) dan Tentara Jepang. Serangan AS ke Biak merupakan bagian dari komando Jenderal AS MacArthur di Pasifik Barat Daya untuk membersihkan Papua sebagai persiapan invasi AS ke Filipina. Ketika 12 ribu tentara Angkatan Darat AS mendarat di Biak pada 27 Mei 1944, Biak telah diduduki oleh 11.800 tentara Jepang yang memanfaatkan gua-gua di pulau tersebut sebagai sistem pertahanan alam. Sistem pertahanan yang menggunakan beberapa gua di Biak sebagai tempat berlindung dan mengintai dinilai sangat cemerlang untuk menyamarkan keberadaan pasukan Jepang (Johnson, 2017). Pasukan AS perlu waktu 80 hari untuk menaklukkan pasukan Jepang dalam pertempuran yang melelahkan. AS menang perang dengan korban tewas 500 orang, 2.400 luka-luka dan 1.000 terserang penyakit. Jepang kehilangan 6.100 nyawa, 450 ditangkap dan ratusan lain tidak jelas rimbanya (Johnson, 2017). Sisa-sisa perang dan jasad tentara yang gugur tersebar dan menjadi saksi bisu di Zona Perang Biak hingga beberapa tahun ke depan. Gua Binsari atau dikenal dengan Gua Jepang merupakan gua terbesar tempat Jepang bertahan dari gempuran AS. Di dalam gua itulah pasukan AS menjatuhkan 367 kilogram peledak dahsyat jenis TNT (trinitrotoluene) hingga menyebabkan banyak korban tentara di pihak Jepang. Zona Perang Biak tak tersentuh selama beberapa tahun setelah perang usai. Setelah penduduk setempat melakukan eksplorasi pascaperang pada gua tersebut, sisa-sisa Gua Binsari secara resmi ditemukan oleh pemerintah setempat pada 1980. Penggalian di Zona Perang Biak ini mengungkap ribuan tulang manusia dan berbagai sisa-sisa peralatan perang dari dua kubu. Ada amunisi, pistol, senapan laras panjang, granat, helm, tank, pesawat terbang, jeep, dinamo portable, peralatan komunikasi dan penerangan. Juga alat-alat pribadi tentara seperti tempat tempat minum, ketel, dog-tag (tanda pengenal terbuat dari lempengan logam), seragam. Sisa-sisa perang dan tulang belulang yang kini dikumpulkan di rumah penduduk lokal menjadi objek yang menarik sekaligus memilukan. Zona Perang Kunjungan ke zona perang termasuk kegiatan wisata. Urry & Larson (2011) mendefinisikan pariwisata sebagai “kegiatan yang meninggalkan” sementara baik secara fisik maupun metaforis, lingkungan, dan praktik sehari-hari menuju tempat baru untuk mendapatkan pengalaman baru. Kunjungan wisatawan ke zona perang dapat dimaklumi; kajian-kajian pariwisata menyebutnya sebagai post-war tourism (pariwisata pascaperang). Wise (2012) menuturkan bahwa bagi wisatawan, destinasi wisata pascaperang berfungsi sebagai lanskap kenangan dan pendidikan tentang konflik antarmanusia. Kata Wise, lanskap perang memungkinkan wisatawan berimajinasi tentang masa lalu di tempat aslinya. Pariwisata perang juga disebut dark tourism (pariwisata gelap). Menurut Foote (2003), pariwisata gelap menampilkan ingatan akan peristiwa tragis dan memilukan secara langsung. Sharpley & Stone (2009) menambahkan bahwa dark tourism adalah perjalanan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan kematian, bencana, dan kehancuran. Perjalanan seperti ini termasuk menyambangi berbagai tempat seperti koleksi atau museum yang bertema kematian dan penderitaan, atraksi terkait kematian, pembunuhan dan kekacauan, dan area yang memperingati kematian, ketakutan, atau kengerian. Kunjungan ke Biak pasca-perang dimulai pada ’1950an oleh para peziarah keluarga korban tentara Jepang. Mereka tak hanya berziarah, tapi juga mendirikan monumen perang, mengumpulkan dan mengkremasi belulang, dan merepatriasi abu tulang belulang ke Jepang. Tak ada informasi tentang keluarga tentara Amerika melakukan hal yang sama. Kunjungan peziarah Jepang kemudian mulai diikuti oleh kunjungan-kunjungan lain yang juga termasuk wisatawan non-anggota keluarga. Untuk mendukung kunjungan tersebut, penerbangan internasional diperlukan. Maskapai penerbangan KLM Belanda menjadikan Biak sebagai persinggahan mereka untuk rute Amsterdam-Bangkok-Manila-Biak-Sydney pada 1955. Rute KLM lainnya adalah Amsterdam-Tokyo-Biak. Kemudian Garuda Indonesia rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Sebuah hotel bintang empat dibangun pula di Biak. Itu menunjukkan bahwa ada suatu periode yang menunjukkan bahwa pariwisata Biak bisa demikian menjanjikan. Sayang geliat wisata ke Biak kemudian meredup. Penerbangan internasional yang singgah di Biak dan kehadiran wisatawan berbondong-bondong tinggal cerita. Belakangan ini, pada 2017 misalnya, Biak hanya mencatat 56.243 pengunjung. Hanya 968 di antaranya wisatawan mancanegara (Kebijakan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, n.d). (*) Source : https://harian.disway.id/read/795082/pengembangan-wisata-perang-biak-1-lanskap-kenangan-pascaperang
Pengembangan Wisata Perang Biak (2): Mengenang Momen Kelam
BIAK, HARIAN DISWAY – Wisata Zona Perang BIAK berpotensi dikembangkan di masa depan. Itu mengingat dahsyatnya Perang dan sisa-sisa Perang serta tulang belulang tentara yang ditinggalkan memiliki nilai historis tinggi. Selain diseraki tulang-belulang dan tengkorak, Zona Perang Biak (ZPB) juga menyimpan banyak koleksi peninggalan para prajurit kedua pasukan. Sejumlah artefak perang ini diamankan dan dikumpulkan di museum mini darurat yang dikelola penduduk setempat. Seperti yang dikelola Yusuf Rumahropen. Banyak artefak telah hilang atau dijarah. Beberapa masih ada jauh di dalam tanah, sementara yang lain mungkin masih ada di seputaran atau di dalam gua. Kualitas zona perang dengan kondisi geografis yang unik dan setting perang yang melibatkan gua dan pantai itu merupakan aset luar biasa yang dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk menyuguhi pengunjung dengan nuansa imajinasi yang berbeda. Menurut Lӧfgren (1999), berwisata ke bekas zona perang menjadi penting karena wisatawan bisa belajar tentang bagaimana perang telah memorakporandakan kehidupan sosial yang seharusnya tenteram dan damai dan untuk membayangkan konflik terburuk yang terjadi pada manusia. Pengembangan Zona Perang Biak sebagai kawasan wisata bisa dimulai dengan melakukan asesmen tentang Aset Berwujud (tangible assets) dan Aset Tidak Berwujud (intangible assets) Zona Perang Biak. Warisan berwujud secara umum mengacu pada semua jejak material seperti situs arkeologi, monumen bersejarah, artefak, dan benda-benda peninggalan perang yang penting bagi komunitas, bangsa, atau/dan kemanusiaan. Istilah artefak mempunyai arti warisan berwujud dan tidak berwujud karena kata tersebut dapat berarti bisa berarti dua hal. Pertama, suatu benda yang biasanya sederhana, seperti perkakas atau ornamen. Itu menunjukkan hasil karya manusia atau modifikasi yang membedakannya dari benda alami, terutama benda sisa dari suatu periode tertentu. Kedua, sesuatu yang merupakan karakteristik atau hasil dari institusi, periode, tren, atau individu manusia tertentu (Kamus Merriam-Webster). Pelembagaan Potensi Wisata Pemerintah pusat Indonesia sepertinya belum melirik peluang-peluang pengembangan pariwisata Zona Perang Biak. Bahkan belum ada upaya signifikan untuk menghadirkannya di kancah destinasi domestik maupun mancanegara. Bila menoleh ke negara tetangga seperti Vietnam, kita tahu bahwa Museum Sisa Perang di Kota Ho Chi Minh Vietnam dioperasikan di bawah kendali pemerintahan nasional Vietnam. Sementara museum sisa perang di Zona Perang Biak diwakili oleh museum mini yang dikelola oleh penjaga Gua Binsari dengan metode penyimpanan dan konservasi yang sama sekali kurang layak. Banyak dari sisa-sisa perang masih tersebar di Pulau Biak dan kemungkinan besar sebagian masih terpendam di dalam tanah atau di dasar laut. Salah satunya pesawat amfibi Catalina milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang masih tertinggal 30 meter di dasar laut Biak. Artefak-artefak penting tersebut perlu mendapat payung perlindungan dan kekuatan hukum terutama dari pemerintah pusat. Pelestarian dan konservasi sisa-sisa perang di Biak harus dilembagakan dengan baik. Agar sisa-sisa perang yang berharga dapat dikelola secara optimal. Semua itu bisa menjadi wadah bagi pengunjung untuk belajar sejarah dan mengenang salah satu momen kelam dalam kehidupan manusia. Salah satunya dengan mengunjungi Monumen Perang Dunia ke-II di Paray, Biak menjadi penanda ganasnya Perang Pasifik dan sebagai pengingat bahwa tidak ada pemenang dalam perang. Sayangnya, kawasan wisata perang Biak belum banyak dikenal dunia. Bahkan belum dikenal masyarakat Indonesia. Itu diduga karena minimnya pemberitaan. Sementara promosi pariwisata saat ini memanfaatkan praktik-praktik modern dan sangat tergantung pada media massa, komunikasi, dan teknologi transportasi yang memungkinkan mobilisasi banyak orang (Elliott & Milne, 2019). Zona perang Biak sudah saatnya lebih gencar diekspos di beberapa media dengan melibatkan media sosial melalui berbagai jenis konten di berbagai platform seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, atau bahkan TikTok. Pun perlu menugaskan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam pengembangan media. Pertanyaannya, adakah niat dan semangat untuk mengembangkan wisata Zona Perang Biak? (*) Source : https://harian.disway.id/read/795097/pengembangan-wisata-perang-biak-2-mengenang-momen-kelam
Standar Kecantikan Suku Mwila dari Angola
Wanita suku asli Angola memiliki standar kecantikan yang sangat berbeda dengan standar kecantikan yang umum diterima oleh masyarakat modern. Found on this link for February to March Edition : https://lionmag.id/magazine Selama ini, kita sering terbiasa dengan standar kecantikan yang mengacu pada keindahan ala barat, seperti rambut lurus dan kulit yang halus serta cerah. Namun, suku terpencil di Angola memiliki pandangan yang berbeda. Salah satunya adalah suku Mwila yang tinggal di Provinsi Wuila, (kiri) Beragam motif batik khas Madura di Tresna Art. (kanan) Pengrajin batik sedang membatik di Tresna Art. wilayah selatan Angola. Mereka memiliki standar kecantikan yang sangat unik dan berbeda dengan standar kecantikan yang umum kita kenal. Tidak ada unsur rambut lurus dan kulit cerah dalam standar kecantikan mereka. Suku Mwila dikenal dengan gaya berpakaian, perhiasan, dan rambut yang rumit dan unik. Tradisi perawatan rambut di kalangan wanita dewasa di suku Mwila sangatlah khas. Mereka menggunakan campuran minyak, kulit pohon yang dihancurkan, mentega, kotoran sapi kering, dan rempah-rempah untuk membentuk rambut gimbal yang tebal. Rambut ini kemudian diwarnai dengan oncula, jenis batu pecah yang memberikan warna hitam pada rambut. Suku Mwila di Angola terkenal dengan gaya yang sangat khas dan unik. Mereka tak hanya menghias rambutnya dengan campuran bahanbahan alami, tetapi juga mengenakan banyak perhiasan manik-manik. Pernak-pernik perhiasan manikmanik yang menghiasi leher mereka bukan hanya sebagai aksesori, melainkan juga menjadi simbol perbedaan usia. Semakin tua usia perempuan di suku Mwila, semakin banyak kalung manik-manik yang mereka kenakan. Budaya suku Mwila di Angola memang sangat unik dan penuh dengan simbolisme. Jumlah kepangan pada rambut wanita di sana menjadi penanda apakah mereka sudah mencapai kedewasaan atau belum. Umumnya, wanita dewasa memiliki empat hingga enam kepangan pada rambut mereka. Namun, apabila terjadi kematian dalam keluarga mereka, jumlah kepangan akan berkurang menjadi tiga. Tak hanya itu, kalung juga digunakan sebagai alat untuk menunjukkan kematangan seksual. Wanita muda akan mengenakan kalung yang lebih kecil dan berwarna merah atau kuning, sedangkan wanita dewasa akan mengenakan kalung yang lebih besar dan berwarna-warni. Karena pembuatan kalung dan gaya rambut sangat lama, wanita memakainya sepanjang waktu – termasuk saat tidur. Sandaran kepala khusus sering digunakan untuk mencegah rambut rusak. Mwila juga dikenal dengan gaun mereka, yang menampilkan skema warna yang mencolok dan pola yang menarik serta diikat di pinggang atau di bahu. Saya sendiri sempat membawa sekelompok turis Indonesia dalam tur ke Namibia dan Angola ketika kami bertemu langsung dengan Para wanita Mwila. “Terlihat jelas mereka adalah wanita yang kuat dan pekerja keras, di beberapa tempat saya melihat mereka bekerja lebih keras daripada pria. Warna rambut mereka, kalung mereka dan cara unik mereka berpakaian adalah bagaimana mereka menjaga tradisi mereka tetap hidup,” Semi Nomaden Suku Mwila ini menjadi kelompok etnis di Afrika yang bermukim di daerah pedalaman Angola Selatan dan dikenal sebagai kelompok seminomaden yang menggembalakan ternak mereka di daerah dataran tinggi Afrika. Mereka hidup dalam kelompok kecil dan memiliki cara hidup yang sederhana namun penuh dengan nilainilai kebersamaan dan kehidupan yang bermakna. Sebagai kelompok semi-nomaden, Suku Mwila hidup dengan bergantung pada alam dan lingkungan sekitar mereka. Mereka hidup dengan mengandalkan peternakan dan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Ternak seperti sapi, kambing, dan domba merupakan sumber makanan yang penting bagi mereka. Sedangkan tanaman seperti jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian menjadi sumber karbohidrat dan protein tambahan. Suku Mwila juga dikenal sebagai kelompok yang sangat dekat dengan alam. Mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang tanaman, hewan, dan lingkungan sekitar mereka. Mereka memahami betul cara hidup alam dan mampu memanfaatkannya dengan bijak untuk kebutuhan seharihari. Selain itu, mereka juga memiliki kepercayaan yang kuat terhadap roh nenek moyang mereka dan meyakini bahwa alam merupakan bagian dari keberadaan mereka. Selama beberapa dekade terakhir, suku Mwila dan kelompok-kelompok etnis lain di Angola Selatan telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk perang saudara dan konflik dengan kelompok-kelompok pemberontak. Meskipun situasinya telah membaik dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang Mwila masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan perumahan yang layak. Sumber : https://www.researchgate.net/publication/377892379_Standar_Kecantikan_Suku_Mwila_dari_Angola
Tradisi Perburuan Cinta Suku Wodaabe di Tanduk Afrika
Akhirnya, saya pergi bertualang ke Niger dan menemui suku-suku di sana, menelusuri jejak kerajaan yang hilang, dan menyaksikan tradisi & budaya kuno yang spektakuler dan eksklusif. Disinilah Afrika yang sebenarnya, sangat terpencil dengan lanskap asing yang begitu indah. TEKS & FOTO Evi Aryati Arbay/@Earbay) Niger menjadi salah satu negara dengan keanekaragaman suku dan tradisi yang luar biasa. Di antaranya terdapat Suku Wodaabe Fulani, suku asli Niger yang memiliki tradisi unik dalam mengejar cinta, yaitu dengan ritual yang dikenal dengan nama Festival Gerewol. Bagaimana serunya festival Gerewol dan tradisi Suku Wodaabe Fula? Setelah melalui research yang panjang, datang saat Gerewol Festival berlangsung adalah pilihan sekaligus kesempatan yang mahal untuk bisa bertemu mereka semua di satu lokasi sekaligus merasakan langsung pengalaman menjelajahi wilayah Niger sampai ke sudut terpencil. Festival Gerewol, atau yang dikenal sebagai festival perburuan cinta, menyajikan keindahan budaya yang spektakuler, namun sangat eksklusif, yang datang masih didominasi wisatawan asing, hampir sulit menemukan orang Asia, saya mungkin saja menjadi pioneer orang Indonesia yang bisa menyaksikannya. Festival ini biasanya diselenggarakan di wilayah terpencil yang dirahasiakan, luar biasanya festival ini seperti magnet yang menjadi tempat berkumpulnya ribuan orang dari berbagai suku dan etnis setiap tahunnya sehingga memberikan kesempatan bagi penduduk setempat untuk berkumpul, merayakan, dan mengejar cinta. para pemuda Wodaabe Fula merias diri dengan detail yang sangat memukau, dari hiasan kepala hingga cat pada wajah mereka yang terlihat dramatis. Dipraktikkan oleh Suku Wodaabe Fula, yang menampilkan lomba ketampanan para pemuda yang memperebutkan hati wanita idaman mereka, bahkan cenderung mencuri para istri. Suku Wodaabe yang sudah dewasa akan dibagi menjadi 15 kelompok berdasarkan garis keturunan yang menentukan siapa yang mereka nikahi sejak kecil. Namun begitu, ketika mereka sudah dewasa, mereka diizinkan mencari pasangan hidup di luar suku. Meskipun demikian, pasangan yang dipilih haruslah perempuan yang sudah menikah dengan pria suku lain, sesuai dengan tradisi pernikahan sejak kecil. Dalam Festival Gerewol, para pemuda dari suku Wodaabe akan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menarik perhatian wanita. Festival ini diadakan setelah para peserta melakukan perjalanan melintasi Sahel dengan berjalan kaki, menaiki unta atau keledai dengan membawa ternak mereka. Mereka tiba di tempat festival dengan kelelahan setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Meskipun kelelahan, para peserta tetap bersemangat untuk mengikuti festival. Sejak dini hari, para pria sengaja bangun untuk mengecat wajah mereka dengan oker merah, menggambar pola titik-titik putih, dan memakai berbagai perhiasan yang membuat penampilan mereka semakin menarik. Mereka juga menggunakan lapisan hitam dan lipstik berwarna biru dalam sesi bersolek yang berlangsung berjam-jam. Semua itu dilakukan agar mereka terlihat semakin mempesona saat tampil di festival. Pada saat acara berlangsung, para pemuda akan menari, menyanyi, dan memamerkan segala daya tariknya. Mereka menunjukkan keterampilan menari mereka setiap malam di depan kelompok wanita yang hadir. Mereka membentuk barisan panjang, lengan mereka berayun seirama, dan mata mereka memancarkan kepercayaan diri. Tidak hanya menari, para pria juga menampilkan keanggunan gerakan mereka. Mereka mengangkat tangan ke atas, merentangkan jari-jari mereka dan menggerakkan tangan mereka seolaholah mereka sedang mengikuti irama musik yang ada. Selama menari, mereka membuka lebar mata dan bibir, menunjukkan kecantikan wajah mereka, termasuk seberapa putih gigi dan mata mereka. Semua gerakan yang dilakukan para pria ini sangat memukau para penonton, terutama wanita yang hadir di festival tersebut. Mereka bisa merasakan kekuatan dan keanggunan dalam setiap gerakan para pria yang menari. Festival ini menjadi ajang untuk para pria menunjukkan keahlian menari mereka dan memikat hati wanita yang hadir. Biasanya, tiga wanita dewasa memilih tiga pemenang setelah memperhatikan tarian selama beberapa hari sebelumnya. Proses seleksi Gerewol sangat menegangkan, dengan para gadis berjalan melewati barisan laki-laki yang tampil dengan penuh gaya. Setelah itu, masing-masing wanita mengetuk pria favorit mereka, dan semua orang bergegas untuk merayakan dan memberi selamat kepada para pemenang. Kemudian, para wanita kembali ke kampung mereka dan menunggu. Jika pria yang terpilih juga memiliki ketertarikan pada mereka, maka mereka akan dijodohkan sebagai pasangan kekasih. Tips Mengunjungi Niger : Beruntung saat ini Visa Niger jauh lebih mudah bagi WNI, anda sudah bisa menikmati fasilitas Visa On Arrival (VOA), namun jangan lupa pastikan paspor anda masih berlaku minimal 6 (enam) bulan saat masuk ke Niger. Melakukan vaksinasi Yellow Fever dan Meningitis minimal 2 minggu sebelum keberangkatan, hal ini masih sangat diperlukan untuk antibodi anda menjelajahi wilayah Africa ditambah vaksinasi Covid 19 lengkap anda. Bawa dan buat Copy bukti semua bukti vaksinasi tersebut, cermati dengan baik semua persyaratan masuk/keluar Niger, termasuk pembatasan COVID-19 atau persyaratan karantina terbaru sebelum anda berangkat. Selalu bawa passport Indonesia anda dan dokumen perjalanan penting lainnya selama anda di Niger, siapkan fotocopy Yellow Card, Passport, Visa, Eticket PP berserta 6 (enam) lembar foto diri yang nantinya tidak hanya ditanyakan oleh petugas Imigrasi saat anda mendarat tapi juga diperlukan sebagai laporan keberadaan orang asing pada kantor kepolisian setempat, Departemen Dalam Negeri dan kantor perizinan lainnya yang dipersyaratkan. Pastikan Anda memiliki cukup dana untuk mendukung perjalanan Anda di Niger dan tunjukkan bukti kemampuan finansial jika diminta. Beli asuransi perjalanan yang menanggung biaya pengobatan, kecelakaan, dan pembatalan atau gangguan perjalanan di Niger. Waspadai penipuan dan jebakan turis, pertimbangkan untuk memakai Tour Operator perjalanan yang kredibel, jika mungkin gunakan yang base di Indonesia untuk menjamin keamanan transaksi perjalanan anda. Siapkan kondisi fisik dan kesehatan anda dengan prima, karena jarak antara kota dan desa yang jauh, seringkali cuaca begitu terik dengan kondisi jalan buruk. Siapkan makanan pribadi yang diperlukan sebagai cadangan energy di perjalanan, terutama saat anda menghadiri Festival Gerewol yang digelar di wilayah gurun pasir dengan lokasi yang terpencil dan rahasia sehingga tidak ada pilihan akomodasi yang memadai selain tidur di Tenda. Jangan lupa untuk selalu menghormati budaya dan tradisi lokal, berpakaianlah dengan pantas saat mengunjungi kuil atau tempat keagamaan di Niger.
Pertunjukan Seni Dayak Kolaboratif Menjadi Magnet Indonesia dalam Pameran Pariwisata Internasional 2024 di San Francisco
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di San Francisco mempromosikan wisata Indonesia dalam pameran San Francisco/Bay Area Travel and AdventureShow 2024. “Indonesia yang luas, terdiri dari berbagai daerah, perlu dipromosikan lebih intensif dalam berbagai ajang internasional,” kata Konsul Jenderal RI San Francisco Prasetyo Hadi melalui rilis pers KJRI yang diperoleh ANTARA, Kamis. Konjen Prasetyo mengatakan bahwa Indonesia tidak hanya mempromosikan seni budaya daerah tertentu saja, tetapi terus menjangkau beberapa seni dan budaya daerah lainnya. Upaya tersebut menjadi rangkaian program tematik diplomasi budaya dan pariwisata yang dijalankan KJRI San Francisco sejak 2022 selain mempromosikan kesenian angklung, wayang golek, gamelan dan kuliner Pasundan. KJRI juga mempromosikan edukasi wisata konservasi Komodo dan Orang Utan, Seni dan Budaya Tana Toraja, Bali, serta berbagai rangkaian pertunjukan wayang kulit dan seni teatrikal Jawa klasik dan kontemporer. Pameran pariwisata internasional terbesar di Pantai Barat Utara Amerika Serikat itu berlangsung di Santa Clara Convention Center pada 16-17 Maret 2024. Selain diikuti peserta lokal dari AS, pameran tersebut juga diikuti sekitar 150 peserta internasional dari sejumlah perwakilan asing dan perwakilan pariwisata di California, sejumlah biro perjalanan wisata asing, traveladvisor dan travel influencer, termasuk beberapa perusahaan yang menjual produk pendukung pariwisata. Pameran tersebut dikunjungi lebih dari 10 ribu pengunjung setiap hari. Partisipasi Indonesia pada ekspo wisata tersebut dilengkapi dengan promosi wisata dari Daerah Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. Perwakilan Malinau dipimpin langsung oleh Bupati Wempi W. Mawa. “Kami dari Pemda Malinau datang ke San Francisco untuk mempromosikan Malinau dan Kalimantan bagian Utara, sekaligus melakukan berbagai pertemuan bisnis dan kerja sama lainnya,” kata Wempi. Delegasi kesenian Malinau juga tampil di hadapan para pengunjung. “Tari Kolaborasi Dayak Malinau yang ditampilkan beberapa kali dalam pemeran menjadi magnet para pengunjung yang hadir,” kata Wempi menambahkan.Selama pameran, stan KJRI San Francisco juga dilengkapi dengan pojok informasi bekerja sama dengan Atase Imigrasi dan Indonesian Trade Promotion Centre di Los Angeles. Stan KJRI, disebutkan dalam rilis, berhasil menarik lebih dari 1.500 pengunjung. Sejumlah pengunjung yang telah memesan tiket ke Jakarta, Bandung, dan Bali, menyatakan ketertarikannya untuk berwisata ke Kalimantan. Beberapa pengunjung juga menanyakan paket wisata yang dapat dikunjungi, dan aturan imigrasi terkini. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia memberikan visa on arrival (VOA) kepada sejumlah negara, termasuk AS. Ketertarikan para pengunjung terhadap wisata Indonesia diketahui dari testimoni salah satu pengunjung stan Indonesia. Heather Hardwick Rhodes, CEO TravelStyles, perusahaan agen travel berbasis di San Francisco, menyatakan ketertarikannya pada pesona wisata Indonesia yang beragam. “Jakarta, Bali, dan Lombok menjadi salah satu tempat menarik bagi pelancong lokal Amerika belakangan ini,” ujar Heather yang pernah berkunjung ke tiga wilayah tersebut bersama keluarganya. Sumber : https://www.antaranews.com/berita/4021296/kjri-promosikan-wisata-indonesia-di-pameran-san-francisco
Makin Diakui Dunia, Tari Gandrung Banyuwangi Dipentaskan di London
Kesenian Banyuwangi kembali mendapat kehormatan tampil di dunia internasional. Kali ini sejumlah siswa SMAN 1 Rogojampi, Banyuwangi mendapat kehormatan tampil di London, Inggris, untuk menampilkan Tari Gandrung. Mereka bakal tampil di ajang ‘’Experience Indonesia’’ di London, 6-9 November 2022 mendatang. “Ini berkah bagi kalian bisa mewakili Indonesia tampil di dunia internasional. Kesempatan ini belum tentu datang dua kali. Manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk mempromosikan Indonesia, khususnya Banyuwangi,” kata Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, saat menemani siswa-siswa tersebut latihan di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Kamis (27/10/2022). “Ini kesempatan untuk menambah wawasan. Di sana silakan mengunjungi kampus-kampus terkenal dunia. Ada Oxford, ada Cambridge, ada LSE. Siapa tahu kalian dari sana, bertekad sekolah di sana,” tambah Ipuk. “Experience Indonesia” merupakan kegiatan tahunan KBRI London sebagai forum promosi Indonesia melalui keunggulan UMKM, kuliner, potensi ekonomi, serta seni budaya. Sekaligus membuka potensi kerja sama Indonesia-Inggris di sektor pariwisata, investasi, dan perdagangan. Ada 12 siswa Banyuwangi yang akan tampil dalam event tersebut. Terdiri dari penari, penabuh gamelan, dan sinden. Para seniman muda ini akan tampil di sesi Indonesian Day, 6 November serta sesi Indonesian Night, 9 November. Mereka akan menyuguhkan 6 tarian khas Banyuwangi yakni Gandrung Kembang Menur, Jakripah, Rodat Syiiran, Punjari, Kembang Pesisiran, dan Jaran Goyang. Ipuk berpesan agar para seniman muda tersebut menjaga nama baik Banyuwangi. “Pasti banyak hal baru yang akan kalian temui di sana. Ambilah hal yang positif dan tetap jaga nama baik daerah,” pesan Ipuk. Dalam kegiatan Experience Indonesia tersebut, selain seni budaya, beragam produk UMKM unggulan Banyuwangi juga bakal ditampilkan. Mulai produk kerajinan, kuliner khas, hingga kopi asli Banyuwangi akan dipamerkan dalam event yang bakal dihadiri banyak kalangan dari masyarakat, pebisnis, hingga pemerintahan Inggris. Ipuk pun sangat berterima kasih dan mengapresiasi dukungan pemerintah pusat untuk perkembangan Banyuwangi. “Terima kasih kepada pemerintah pusat, terutama Kemenlu dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenpar Ekraf), yang terus memfasilitasi promosi Banyuwangi ke mancanegara,” ujar Ipuk. Sebelumnya, tarian khas Banyuwangi telah berkali-kali diundang manggung dalam berbagai acara nasional dan internasional, antara lain dalam acara kenegaraan di Istana Negara dan acara kebudayaan di Jerman, Malaysia, Prancis, Hongkong, Brunei Darussalam, serta Jepang. Juga di Amerika Serikat dan Saudi Arabia. (*)